SUATU siang tahun 1994, seorang pemuda dengan jins dekil bertamu ke kantor redaksi Harian Suara Maluku di Ambon. Dengan agak malu-malu, dia menyerahkan naskah beberapa puisi. “Bolehkah puisi beta dimuat di sini?” ujarnya ragu-ragu.
Beberapa hari kemudian, dia datang memperlihatkan kliping puisinya yang pertama kali dimuat di koran. Hari-hari berikutnya dia selalu datang. Tiap kali muncul, matanya berbinar-binar. Lalu dia selalu meninggalkan puisi-puisinya nan khas remaja kampung yang cinta pada alamnya.
“Beta, Dino F. Umahuk, lahir di Capalulu, Sanana. Beta kuliah di Fakultas Teknik Universitas Darussalam Tulehu. Beta aktivis organisasi pencinta alam, suka menulis puisi,” begitulah tiap kali pemuda itu memperkenalkan diri.
Ketika semakin akrab dengan beberapa wartawan di Ambon, Dino sering bercerita tentang petualangannya menaklukkan puncak gunung dan perempuan. Ceritanya melompat-lompat dari kampung ke kota, dari gunung ke sungai, dari Ambon, Jakarta sampai ke Aceh.
Setahun kemudian, dalam pekan olahraga dan seni (Porseni) antar mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta Maluku dan Irian Jaya di Ambon, Dino menyabet dua medali emas. Puisinya berjudul Stanza Kota Ambon menjadi puisi terbaik. Lantas ketika membaca Pancasila Sakti karya penyair perempuan Maluku A. Tomasoa, Dino dinobatkan sebagai pembaca puisi terbaik. Para suporternya mengelu-elukan dirinya sebagai bintang. Dino, Dino, Dino!
Ketika gelombang reformasi melanda Indonesia, Dino masih di Kampus Universitas Darussalam Tulehu. Dia turun ke jalan memimpin demonstrasi. Dino menjadi orator meneriakkan reformasi total. Dia membaca puisi protes di hadapan rektor, bupati dan gubernur.
“Jangan rampok hutan sagu, jangan jarah laut kami,” teriaknya di jalan-jalan.
Dua hari sebelum Idul Fitri 19 Januari 1999, dalam acara pelatihan jurnalistik lingkungan di Pantai Natsepa Teluk Baguala Ambon, Dino bersama puluhan pelajar dan mahasiswa pencinta alam mencetuskan Deklarasi Natsepa.
“Kami bertekad membela habis-habisan satu-satunya bumi yang sangat kami cintai,” begitu bunyi sepenggal deklarasi.
Tapi dua kali 24 jam setelah mencetuskan Deklarasi Natsepa, Dino dan para pencinta alam itu menghadapi kenyataan pahit. Bumi Ambon yang sangat mereka cintai, tiba-tiba hancur oleh sebuah bencana yang terkenal sebagai kerusuhan. Seperti warga Ambon lainnya, hati Dino hancur berantakan
Sebagai pemuda yang sedang tumbuh dewasa, Dino kemudian mengekspresikan rasa frustrasi dan cinta pada Ambon dengan beberapa cara. Mulanya dia membantu Posko Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku yang dipimpin Thamrin Ely, mantan wartawan Sinar Harapan yang menjadi politisi, dan Ketua Delegasi Muslim Maluku ke Pertemuan Malino.
Dalam konflik Ambon yang kemudian meluas menjadi konflik Maluku, Dino bergabung dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (Tirus), satu-satunya tim relawan yang terdiri dari aktivis Islam-Kristen. Dalam situasi masyarakat yang terbelah, tim ini punya akses luas menerobos kelompok pengungsi yang sulit dijangkau relawan lainnya.
Dino juga kemudian bekerja di harian Ambon Ekspres lantas Koran Info. Dia memang pernah bercita-cita menjadi wartawan. Hal itu sudah dirintisnya dengan bergabung ke Mingguan Patriot, koran pertama yang terbit di Ambon tanpa SIUPP pada awal reformasi.
Hubungan-hubungan pribadinya dengan para aktivis LSM dan wartawan di Ambon dan Jakarta, membuat Dino dipercaya oleh Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Jakarta sebagai koordinator dalam Pelatihan Jurnalisme Damai, tahun 2000. Inilah untuk pertama kalinya wartawan di tengah konflik Ambon bertemu secara massal. Selain memperkenalkan konsep jurnalisme damai, forum ini mulai memikirkan adanya semacam media centre bagi wartawan Maluku.
Maluku Media Centre (MMC) kemudian terbentuk setelah Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia memfasilitasi pertemuan wartawan Islam-Kristen Maluku dan Maluku Utara di Bogor tahun 2002. Dino yang pernah mengungsi ke Jakarta, kemudian kembali ke Ambon menjadi koordinator MMC. MMC tercatat paling banyak memberi kesempatan wartawan Maluku mengikuti pelatihan jurnalistik profesional. Tiba-tiba tahun 2004, Dino meninggalkan Ambon dan memilih merantau ke Jakarta.
Beberapa fase perjalanan Dino yang dipaparkan ini sangat penting untuk memahami puisi-puisi Dino, terutama karena dalam situasi inilah kepenyairannya tersemai, berkecambah lalu tumbuh.
Maka Dino sekarang bukan lagi pemuda dengan jins dekil dan kertas lusuh yang malu-malu mengantar naskah puisi ke Kantor Redaksi Suara Maluku. Beberapa tahun ini, dia lebih rajin berselancar di cybersastra, memperkenalkan diri kepada dunia bahwa dari Ambon yang hancur lebur, telah tumbuh seorang penyair.
Sebagai anak Maluku, Dino lahir di dunia yang musikal dan puitik. Gunung hijau di dekat pantai pasir putih, angin dan ombak di lautan warna-warni. Sungai kecil dari hutan besar selalu mengalirkan bunyi orkes keindahan yang rural dan natural. Inilah habitat Dino nan asli. Simak lagu-lagu Ambon yang melankoli. Semua memuja alam lingkungannya. Biduan Ambon selalu bernyanyi : Sio Ambon, sio kampung, sio mama, sio nona, sio ! Puisi-puisi Dino juga menganut pemujaan serupa.
Tapi Dino adalah simbol penyimpangan. Dia tidak tumbuh menjadi penyanyi atau petinju seperti kebanyakan pemuda Maluku. Justru, sebagai petualang yang nakal, dia lebih terpanggil menjadi penyair, sebuah ketidaklaziman. Proses kreatifnya melawan mainstream, sesungguhnya merupakan proses berat, sendiri, tanpa teladan, tanpa refererensi, tanpa panggung. Dan itu sungguh berani.
Nah, di padepokan manakah Dino belajar merangkai kata ? Padahal, Ambon tidak punya ruang yang cukup dan sphere yang kondusif bagi lahirnya penyair sejati. Pertanyaan ini juga cukup penting untuk dapat memahami karakter puisi-puisi Dino secara utuh. Lihat anatomi puisinya yang beragam-ragam atau berantakan, larik yang sesukanya atau rima yang terabaikan. Simbolismenya nyaris tidak mengundang konotasi. Tapi itulah karakter penyair yang lahir secara otodidak, dari lahan gersang tapi indah di Maluku. Dia begitu menyingkirkan formalitas puisi dan lebih mengagungkan isi. Pokoknya, muncratlah jadi puisi.
Puisi-puisi Dino adalah narasi yang gelisah. Gelisah pada dirinya sendiri. Dia bercerita tentang berbagai hal dengan dirinya sebagai sentrum. Dino ada di mana-mana, menjadi saksi untuk semua yang terlihat di depan mata, terbesit di benak dan tergetar di hatinya. Bahkan semua “kau” dalam puisinya, justru bercerita tentang Dino sendiri dan bukan tentang “Kau”. Cerita tentang Ambon yang rusuh, sesungguhnya cerita tentang Dino yang gelisah, rasa, pikir, bahkan ekpresi iman. Cerita tentang perempuan-perempuannya, adalah cerita tentang gairahnya sendiri.
Kegelisahan dalam puisi-puisi Dino, selain merupakan kejujuran batinnya, juga bisa mewakili kegelisahan generasinya di Ambon. Gelisah akan jalan kepenyairan yang begitu samar karena iklim dan musim yang tidak pernah sesuai. Gelisah karena peri kehidupan sosial di kota dan kampungnya yang terkoyak-koyak.
Tema-tema yang disuguhkan Dino dalam puisi-puisinya, terasa sudah sangat berjibun dan begitu lumrah, bersileweran bahkan dalam dunia cybersastra. Dino baru kelihatan tidak biasa, ketika dia kembali kepada habitat yang asli, yakni laut. Laut Ambon, laut Maluku. Dari sana, tanpa dia sengaja akan muncul metafora yang tulus, metafora dari laut. Puisi Enggo Lari, Fragmen Para Leluhur, Narasi Tanah Asal atau Nona Panggil Pulang. Bukan karena di situ dia menjejerkan ke-Ambon-an, melainkan justru di situlah roh Dino dapat tercetus secara natural dan satrawi.
Di luar itu, puisi-puisi Dino adalah himpunan keresahan pada angkatannya. Sebagaimana keluhan Dino pada suatu hari : Siapakah penyair Ambon masa kini ? Setelah Dominggus Willem Syaranamual mati, siapa penggantinya ? Dino mungkin tak menemukan jawaban. Sebab dialah jawabannya. Dengan melahirkan karya sastra seperti puisi-puisinya sekarang, sebenarnya Dino memproklamirkan diri untuk mau menjadi generasi penerus Syaranamual.
Syaranamual memang menjadi satu-satunya penyair legendaris Maluku yang cukup dekat di hati Dino. Keduanya sama-sama menderita dalam konflik Ambon. Dino tertekan dalam kerusuhan Ambon masa kini sedangkan Syaranamual berada dalam kejaran antek-antek Republik Maluku Selatan (RMS) dalam kerusuhan masa lalu.
Kalau Dino ingin menjadi pengganti Syaranamual, mestinya Dino mau lebih optimistik. Tak perlu sendu nelangsa berlebih-lebih apalagi pesimistik seperti dalam banyak puisinya. Perlu rasanya mengingat kembali optimisme Syaranamual. Dalam Pelarian Terakhir, dia berteriak : ...di sini masih ada orang kuat lari/berlomba dengan maut/orang berlomba/aku berlomba/aku membuat satu pelarian terakhir.
Menjadi penyair, bagi Dino atau anak muda Maluku lainnya, memang sebuah ketidaklaziman. Itu namanya melawan arus. Tapi bila ditelusuri jauh ke belakang, nenek moyang orang Maluku sebenarnya penyair-penyair ulung. Kapata-kapata, mantera-mantera, nyanyian, ratapan dan doa-doa agama asli, semuanya adalah puisi-puisi maha sakral. Maka jalan menyimpang yang sedang ditelusuri Dino, sesungguhnya sebuah jalan untuk kembali pada keindahan dan kesucian batin nenek-nenek moyang. Kalau Dino berjalan terus, maka akan mengalir begitu banyak metafora dari laut biru.
(Nah Dino, ale ada di mana ? Beta tunggu ale di tepi Teluk Baguala)
Ambon, Februari 2008
Rudi Fofid
sumber :www.sastraindonesia.net
Jumat, 07 Maret 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar